Jumat, 22 Juni 2012

Apologi Sampah

Intektualitas merupakan sebuah spectrum warna berpikir kritis. Saat ilmu menjemput rasa keingintahuan dalam menjawab kebodahan zaman. Namun sayang, ‘kepintaran’ logika membuat Makna realiatas seringkali dibungkus dengan kesombongan generalisasi teori. ‘punya ku’ yang paling benar ! bukan, ‘punya ku’ yang paling tepat.

Dielektika sering terjadi di ruang suci penuh buku. Namun tindakan di dunia nyata menunjuk kemunafikan apologi sampah. Tiang-tiang penyanga nurani dirobohkan untuk alasan kebebasan hak dan berpikir bebas. ‘Bebas terjun ke dalam jurang’. Berkoar-koar seperti nabi di tengah zaman. Namun lari menghampiri penguasa modal.

Ada banyak jargon pemikiran. Menata jalan menuju dunia tampa ‘kebodohan’. Berlogika hingga merusak logika. Berfikir sampai menyesatkan pikiran. Memaksa pembenaran sampai merusak kebenaran. Menegak keadilan  sampai lupa apa itu arti keadilan. Jadi pahlawan di tengah peradapan.. Berlagak sok paham dalam ranah kemanusiaan. Tapi menyingkirkan nilai nilai kemanusian.

Mengaku memengang estafet perubahan. Tapi berlari berlawan dari garis perjuangan. Memengang kitab manusia tapi membuang kitab Tuhan. Lupa ? terlupakan ? atau berpura-pura lupa ?. Tetap saja ada pembenaran.

Di rumah ada cermin. Tapi sering sekali berkaca.

Kamis, 21 Juni 2012

BERCERMIN DARI KASUS KLAIM BUDAYA

OLEH : AL KINDI HARLEY[1]
 
Indonesia merupakan negara besar yang kaya akan warisan (heritage), baik warisan alam (natural heritage) maupun warisan budaya (cultural heritage). Warisan alam adalah kekayan yang berada pada alam seperti flora, fauna dan lingkungan hidup. Sedangkan warisan budaya dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu : budaya fisik dan non fisik. Budaya fisik merupakan hasil ciptaan manusia yang terwujud dalam bentuk fisik. Budaya yang di katagorikan kedalam budaya fisik antara lain: artefak, rumah adat, teknologi dan lain sebagainya . budaya non fisik merupakan budaya yang berupa tindakan dan gagasan manusia seperti bahasa, tarian, folklore, nyayian dan lain sebagainya.

Saat ini banyak warisan Indonesia yang terancam. Ancaman itu bisa berasal dari bencana alam, pembangunan dan pencurian atau pengklaiman seperti yang baru baru ini di lakukan Malaysia terhadap budaya Gondang Sembilan dan Tor Tor yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Pada tulisan ini akan membahas ancaman dari rencana pengklaim budaya oleh pihak asing. 

Apa Ini Cerita Mu ?

Kau Terdiam Tak Berdaya.
Terdengar Benturan Keras Nafas Yang Tersenggal
Sesak Karna Beratnya Jalan Yang Dilalui

Sepi Yang Mengiringi Langkah, Kau Anggap Teman
Walau Terkadang Kau Berharap Teman Yang Sebenarnya Datang

Ingin Ku Mendekat Tuk Tempat Sandaran Mu.
Tapi Kau Hanya Tertenggun
Memandangi  Negri Yang Membuat Mu Lapar

Lalu Kau Bercerita
Yang Berdasi Bilang Jika Itu Bukan Urusan Kami.
Padahal Beban Itu Mereka Yang Meminta
Mereka Lupa
Si Pengecut Yang Hina

MAHASISWA DAN MAKNA PRESTASI

oleh : Al Kindi Harley - Fisip USU

M
ahasiswa pada hakikatnya adalah insan akademis yang mempunyai pola pikir dinamis. Pola pikir yang akan terus menerus berkembang untuk  mengetahui dan belajar segala hal yang tidak ia ketahui baik itu yang ia sadari atau tidak. Pengetahuan itu bisa berupa pengetahuan akan penting nya hidup, pengetahuan tentang dunia sosial atau lain sebagai nya. Ini merupaka hal yang sangat  lumrah karena rasa ingin tahu (curiosity) lah yang mendorong tindakan tersebut. Mungkin bagi sebagian orang menyandang predikat mahasiswa  merupakan hal yang membanggakan baik itu karena dianggap sebagai calon intelektual muda yang selalu haus akan ilmu pengetahuan ataupun mungkin dianggap sebagai kelompok muda yang berani membela kebenaran atas nama rakyat yang tertindas maupun alasan lain nya. Namun ada juga anggapan bahwa mahasiswa adalah kelompok orang-orang yang mampu dalam hal materi. Anggapan ini bisa saja muncul mengingat bahwa pendidikan merupakan hal yang mahal dan mewah untuk sekarang ini.

APA ITU PRESTASI ?

Terlepas dari apapun anggapan tentang mahasiswa , mahasiswa  juga manusia biasa. Dalam artian ada manusia yang baik dan buruk , pintar dan tidak pintar , berkualitas dan tak berkualitas atau sebagai nya. Berbicara masalah kualitas mahasiswa tentu nya berbicara tentang sesuatu yang telah dicapai . pencapaian itu bisa berupa loyalitas yang tinggi terhadap kampus, kemampuan akademik yang wow dan banyak nya tropi yang ia dapatkan dari berbagai perlombaan atau kompetisi.

SUMMARY

Local Community-Based Disaster Management: A Local Community Participatory Approach  To Addressing The problem of Ineffectiveness  Disaster Management In Indonesia
Written by : Al kindi Harley
Simak
Baca secara fonetik

1.Background
Indonesia is a country rich in diversity, ranging from cultural diversity to the diversity of natural wealth. This is because Indonesia is a very strategic location. Because of this location as well, Indonesia is in the pacific ring of fire area. Pacific ring of fire is the area around the disaster-prone Pacific ocean. Therefore, Indonesia is also a country that has diversity of disasters such as earthquakes, tsunamis, volcanic eruptions, floods, forest fires, conflict and terror.

Of course, these disasters cause huge loss for us if that happens. For example, the devastating earthquake and tsunami in Aceh on 26 December that resulted in 216,000 dead and 29,579 homes were destroyed. This is just one example of losses due to disasters,  how if we calculate the overall losses due to disasters from 2004 until now?.

Realizing this, we, the State and all concerned shall immediately be prepared to face the disasters. Perhaps this natural disaster that can not be prevented, because of natural disasters is a natural cycle that would occur. That only we can do is get ready (before-during-after the disaster) and how to prevent these disasters for not too many casualties and harm our socio-cultural, economic, psychological as well as its other.

Ketika Nelayan Harus sandar dayung Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono

Di tulis oleh     : Pujo Semedi H. Juwono
Di review oleh : Al Kindi Harley 

Apa yang terbayang dipikiran kita jika mendengar kata ‘nelayan’ ? setidaknya pasti terlintas seseorang yang melaut, ikan, perahu , wilayah pesisir, kail, pancingan, dan dan lain sebagainya.  Nelayan bisa dikatan orang - yang melaut untuk mencari ikan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari – hari dan menjualnya ke pasaran untuk di kosumsi orang lain. Tulisan yang sedang kita baca ini adalah sebuah review buku yang akan bercerita tentang kehidupan salah satu kelompok  nelayan Indonesia . penulis buku ini adalah orang yang cukup berkompeten dalam bidang ini. Ia sudah lama berbaur dengan masyarakat nelayan yang ia teliti. 

Buku ini terdiri dari 8 Bab yang menceritakan hampir keseluruhan kehidupan nelayan yang ia lihat di lapangan dan bagaimana pasang - surutnya kehidupan mereka. Ia juga menjelaskan bukunya itu tidaklah terlepas dari hal yang bersifat subjektif. Bab pertama dan ke-dua serta ke-tiga menjelaskan kehidupan yang terpaksa ‘menderita’ karena urusan perut dan latar belakang nelayan tersebut , sejarah ‘kesusahan’ mereka dari jaman sebelum dijajah jepang sampai orde baru dan juga mencoba mengkritisi teori yang mengatakan bahwa kehidupan nelayan adalah seimbang  atau equilibrium. Padahal kenyataannya kehidupan tersebut menurun ke bawah, dari miskin semakin miskin. Bab ke-empat mencoba menjelaskan apa yang dilakukan oleh nelayan dalam berjuang dan berusaha  untuk nerdaptasi dengan alam dalam melawan ‘kemiskinan’ mereka. Apapun mereka lakukan.  Memfaatkan waktu untuk memperbaiki jaring yang rusak, mengunakan pengetahuan lokal tentang musim, bintang, mau tidak mau menerima perbedaan antara kaya dan miskin dan lain sebagainya. Bab selanjutnya menjelaskan bagaimana keramahan mereka terhadap sesama. Berbagi apa yang bisa di bagi walaupun dalam keadaan susah. Hingga pada waktu Mereka tergusur pemodal yang lebih besar dan menjadi buruh pemodal.

KEMISKINAN : SUATU TINJAUAN TEORI

OLEH : AL KINDI HARLEY

Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata ‘kemiskinan’ ? pastinya yang terbayang adalah sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan. Tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, penganguran, pendidikan kurang, kesehatan kurang, tinggal di tempat yang tidak layak, pendapatan tidak mencukupi makan seluruh anggota keluarga – makan seadanya, dan kondisi lainnya yang jauh dari kelayakan dan ini terjadi di sekitar kita.

Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan langkahlangkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan cara mengatasinya, atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah julah atau tingkat kemiskinanya.

Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya). 

PARADIGMA KRITIS DAN SYARIAT ISLAM ACEH SAAT INI

Oleh: Al Kindi Harley - Opini

Ide tulisan ini bermula ketika saya mengotak- ngatik file yang ada di laptop saya. Tampa sengaja saya menemukan sebuah artikel yang pernah saya ambil dari serambi online. Artikel tersebut berjudul “Masi Acehkah kita?” yang di tulis oleh Muhammad Adam pada kolom Opini (Serambi, 20 april 2011). Artikel tersebut mencoba mengajak kita mengevaluasi diri terhadap “keacehan” kita. Apa kita ini Aceh “asli” atau tidak. Fokus evaluasinya di ambil dari konsep globalisasi 3F (food, fashion dan fun), politisasi baju adat dan identitas (nama dan bahasa).

Dari ulasan artikelnya, Muhammad Adam merasa gelisah, was –was , dan mungkin “takut” akan perubahan serta degradasi sosial-budaya masyarakat Aceh saat ini. Ia memaparkan mungkin kita sudah mulai merasa hilangnya nilai ‘keaslian’ dari ‘keacehan’ kita. Ia menyuguhkan fakta bahwa ada banyak remaja yang malu berbahasa Aceh (bagi saya bahasa Aceh itu bukan hanya bahasa yang di gunakan oleh masyrakat Pidie, Banda Aceh, Lhoksemawe, Bireun, Meulaboh, Calang dll, tapi juga bahasa Gayo, Devayan, bahasa Klued, bahasa Taluk/Aneuk Jame dan lain sebagainya yang mengkontruksikan kayanya bahasa Aceh), hilangnya kue tradisional Aceh, sudah kurang nama – nama Islami karena anggapan tidak keren, kurannya penggunaan baju adat oleh pemimpin dan lain sebagainya. 

Tidak bisa dipungkiri, perubahan memang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan keilmuan yang harus kita tanggung. Bukan hanya karena perkembangan keilmuan, tapi memang masyrakat pasti akan berubah dimanapun itu. Kalau dalam Islam disebutkan dari zaman jahiliyah ke jaman yang tidak jahiliyah lagi. Atau bahasanya kaum developmentalis, dari masyarakat “tertingal”, tradisonal, “kampungan”, menjadi masyarakat “maju”, urban people, “hebat”, dan modern. Namun pertanyaan, sudah siapkah kita berubah ? sudah siapkah kita mengkritisi perubahan dan artinya mengkritisi diri sendiri, mengkritisi keacehan kita dan mengkritisi keistimewaan kita ‘Syariat Islam Aceh’ ?