Oleh: Al Kindi Harley - Opini
Ide tulisan ini bermula ketika saya mengotak- ngatik file yang ada di laptop saya. Tampa sengaja saya menemukan sebuah artikel yang pernah saya ambil dari serambi online. Artikel tersebut berjudul “Masi Acehkah kita?” yang di tulis oleh Muhammad Adam pada kolom Opini (Serambi, 20 april 2011). Artikel tersebut mencoba mengajak kita mengevaluasi diri terhadap “keacehan” kita. Apa kita ini Aceh “asli” atau tidak. Fokus evaluasinya di ambil dari konsep globalisasi 3F (food, fashion dan fun), politisasi baju adat dan identitas (nama dan bahasa).
Dari ulasan artikelnya, Muhammad Adam merasa gelisah, was –was , dan mungkin “takut” akan perubahan serta degradasi sosial-budaya masyarakat Aceh saat ini.
Ia memaparkan mungkin kita sudah mulai merasa hilangnya nilai ‘keaslian’ dari ‘keacehan’ kita. Ia menyuguhkan fakta bahwa ada banyak remaja yang malu berbahasa Aceh (bagi saya bahasa Aceh itu bukan hanya bahasa yang di gunakan oleh masyrakat Pidie, Banda Aceh, Lhoksemawe, Bireun, Meulaboh, Calang dll, tapi juga bahasa Gayo, Devayan, bahasa Klued, bahasa Taluk/Aneuk Jame dan lain sebagainya yang mengkontruksikan kayanya bahasa Aceh), hilangnya kue tradisional Aceh, sudah kurang nama – nama Islami karena anggapan tidak keren, kurannya penggunaan baju adat oleh pemimpin dan lain sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri, perubahan memang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan keilmuan yang harus kita tanggung. Bukan hanya karena perkembangan keilmuan, tapi memang masyrakat pasti akan berubah dimanapun itu. Kalau dalam Islam disebutkan dari zaman jahiliyah ke jaman yang tidak jahiliyah lagi. Atau bahasanya kaum developmentalis, dari masyarakat “tertingal”, tradisonal, “kampungan”, menjadi masyarakat “maju”, urban people, “hebat”, dan modern. Namun pertanyaan, sudah siapkah kita berubah ? sudah siapkah kita mengkritisi perubahan dan artinya mengkritisi diri sendiri, mengkritisi keacehan kita dan mengkritisi keistimewaan kita ‘Syariat Islam Aceh’ ?