Apa yang anda pikirkan ketika
mendengar kata ‘kemiskinan’ ? pastinya yang terbayang adalah sebuah kondisi
yang sangat memprihatinkan. Tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, penganguran,
pendidikan kurang, kesehatan kurang, tinggal di tempat yang tidak layak,
pendapatan tidak mencukupi makan seluruh anggota keluarga – makan seadanya, dan
kondisi lainnya yang jauh dari kelayakan dan ini terjadi di sekitar kita.
Kondisi dan
fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar masyarakat kita hingga kini
masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori,
konsep maupun metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar
kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan
langkahlangkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan
cara mengatasinya, atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal
ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada
dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah julah atau tingkat kemiskinanya.
Kemiskinan
seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan
kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau
sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang
atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya
sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat
kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
yang mendasar (makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan
dan sebagainya).
Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian
terserap ke dalam dan mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan
manusia.Kemiskinan merupakan masalah
sosial yang sangat kompleks, karena itu perlu tinjauan menyeluruh dari berbagai
sudut pandang. Sebagian sarjana menjelaskan masalah kemiskinan melalui analisis
politik dan pendekatan struktural. Sarjana yang lain meninjaunya dari
perspektif kebudayaan, yang melahirkan pendekatan kultural.
Penganut strukturalis bermazhab
Marxian menggunakan analisis konflik kelas, yang terfokus pada:
(i)
Politik pembangunan yang elitis,
(ii)
Kebijakan sosial yang tidak adil,
(iii)
Dominasi sumber daya finansial oleh kelompok tertentu,
(iv)
Penguasaan aset ekonomi dan alat-alat produksi oleh
golongan kecil masyarakat, dan
(v)
Keterbatasan akses pada kegiatan ekonomi produktif.
Sedangkan penganut paham
kultural melihat isu krusial ini dengan melakukan analisis mengenai orientasi
nilai budaya di kalangan orang miskin. Analisis kultural bersifat inward
looking dengan mengamati sikap, perilaku, dan cara pandang orang miskin
dalam menjalani kehidupan. Kaum kulturalis berpandangan, orientasi nilai budaya
orang miskin itu tidak mendukung upaya untuk melepas mata rantai kemiskinan. Suatu
keluarga miskin cenderung mewariskan nilai budaya miskin dari generasi ke
generasi, sehingga lingkaran kemiskinan tak bisa diputus. Interaksi sosial di
lingkungan keluarga miskin menjadi wahana sosialisasi nilai bagi anak-anak
secara berkesinambungan, yang menyebabkan the chain of poverty makin
kuat sehingga tak dapat diurai.
Sikap Mental Dalam perspektif
kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya
ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber
finansial oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangunan, ada
sebuah ungkapan terkenal: “poverty is a state of willingness rather than
scarcity.” Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap
mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of mind
yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status
serta kualitas kehidupan.
Buku klasik karangan Oscar
Lewis, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty
(1959), secara cemerlang menguraikan betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara
berpikir orang miskin mencerminkan suatu
kebudayaan kemiskinan. Tesis utamanya: orang miskin memiliki karakteristik dan
nilai-nilai budaya yang berbeda dengan orang kebanyakan, yang kemudian
membentuk sub-kultur tersendiri.
Lewis menulis,
“the culture
of poverty indicates that poor people share deviant cultural characteristics;
they have lifestyles that differ from the rest of society and these
characteristics perpetuate their life of poverty.”
Jadi, kemiskinan bukan
semata bersumber pada kebijakan negara yang
didominasi golongan elite, yang melahirkan ketimpangan ekonomi. Atau regulasi
pemerintah yang tak adil, sehingga membuahkan marginalisasi sosial.
Karakteristik kebudayaan
kemiskinan antara lain
(i)
Rendahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan,
(ii)
Lemahnya daya juang (fighting spirit) untuk
mengubah kehidupan,
(iii)
Rendahnya motivasi bekerja keras,
(iv)
Tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing
pandum,
(v)
Respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi,
(vi)
Lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih
baik,
(vii)
Cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate
gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-time
orientation), dan
(viii) Tidak
berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.
Karakteristik kebudayaan
kemiskinan ini bertolak belakang dengan ciri-ciri manusia modern menurut
gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern (1974),
yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju, pencapaian prestasi, dan
berorientasi masa depan.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa faktor internal yakni mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan
pada problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau masalah
struktural.
SUMBER BACAAN :
Amich
Alhumami (Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom) dalam artikel “BLT dan
budaya kemiskinana”. Di akses dari ‘Suara Pembarua Daily’ pada 29 mei 2008.
Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan
Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta. Penerbit
Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar