Kamis, 21 Juni 2012

KEMISKINAN : SUATU TINJAUAN TEORI

OLEH : AL KINDI HARLEY

Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata ‘kemiskinan’ ? pastinya yang terbayang adalah sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan. Tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, penganguran, pendidikan kurang, kesehatan kurang, tinggal di tempat yang tidak layak, pendapatan tidak mencukupi makan seluruh anggota keluarga – makan seadanya, dan kondisi lainnya yang jauh dari kelayakan dan ini terjadi di sekitar kita.

Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan langkahlangkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan cara mengatasinya, atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah julah atau tingkat kemiskinanya.

Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya). 

Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian terserap ke dalam dan mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan manusia.Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat kompleks, karena itu perlu tinjauan menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Sebagian sarjana menjelaskan masalah kemiskinan melalui analisis politik dan pendekatan struktural. Sarjana yang lain meninjaunya dari perspektif kebudayaan, yang melahirkan pendekatan kultural.

Penganut strukturalis bermazhab Marxian menggunakan analisis konflik kelas, yang terfokus pada:

(i)              Politik pembangunan yang elitis,
(ii)            Kebijakan sosial yang tidak adil,
(iii)          Dominasi sumber daya finansial oleh kelompok tertentu,
(iv)          Penguasaan aset ekonomi dan alat-alat produksi oleh golongan kecil masyarakat, dan
(v)            Keterbatasan akses pada kegiatan ekonomi produktif.

Sedangkan penganut paham kultural melihat isu krusial ini dengan melakukan analisis mengenai orientasi nilai budaya di kalangan orang miskin. Analisis kultural bersifat inward looking dengan mengamati sikap, perilaku, dan cara pandang orang miskin dalam menjalani kehidupan. Kaum kulturalis berpandangan, orientasi nilai budaya orang miskin itu tidak mendukung upaya untuk melepas mata rantai kemiskinan. Suatu keluarga miskin cenderung mewariskan nilai budaya miskin dari generasi ke generasi, sehingga lingkaran kemiskinan tak bisa diputus. Interaksi sosial di lingkungan keluarga miskin menjadi wahana sosialisasi nilai bagi anak-anak secara berkesinambungan, yang menyebabkan the chain of poverty makin kuat sehingga tak dapat diurai.

Sikap Mental Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangunan, ada sebuah ungkapan terkenal: “poverty is a state of willingness rather than scarcity.” Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.
Buku klasik karangan Oscar Lewis, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (1959), secara cemerlang menguraikan betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara berpikir orang miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Tesis utamanya: orang miskin memiliki karakteristik dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-kultur tersendiri.
Lewis menulis,  

“the culture of poverty indicates that poor people share deviant cultural characteristics; they have lifestyles that differ from the rest of society and these characteristics perpetuate their life of poverty.” 

Jadi, kemiskinan bukan semata bersumber pada kebijakan negara yang didominasi golongan elite, yang melahirkan ketimpangan ekonomi. Atau regulasi pemerintah yang tak adil, sehingga membuahkan marginalisasi sosial.

Karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain

(i)              Rendahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan,
(ii)            Lemahnya daya juang (fighting spirit) untuk mengubah kehidupan,
(iii)          Rendahnya motivasi bekerja keras,
(iv)          Tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing pandum,
(v)            Respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi,
(vi)          Lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik,
(vii)        Cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-time orientation), dan
(viii)      Tidak berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.

Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak belakang dengan ciri-ciri manusia modern menurut gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern (1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju, pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal yakni mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau masalah struktural.

SUMBER BACAAN :
Amich Alhumami (Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom) dalam artikel “BLT dan budaya kemiskinana”. Di akses dari ‘Suara Pembarua Daily’ pada 29 mei 2008.

Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar