Kamis, 21 Juni 2012

Ketika Nelayan Harus sandar dayung Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono

Di tulis oleh     : Pujo Semedi H. Juwono
Di review oleh : Al Kindi Harley 

Apa yang terbayang dipikiran kita jika mendengar kata ‘nelayan’ ? setidaknya pasti terlintas seseorang yang melaut, ikan, perahu , wilayah pesisir, kail, pancingan, dan dan lain sebagainya.  Nelayan bisa dikatan orang - yang melaut untuk mencari ikan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari – hari dan menjualnya ke pasaran untuk di kosumsi orang lain. Tulisan yang sedang kita baca ini adalah sebuah review buku yang akan bercerita tentang kehidupan salah satu kelompok  nelayan Indonesia . penulis buku ini adalah orang yang cukup berkompeten dalam bidang ini. Ia sudah lama berbaur dengan masyarakat nelayan yang ia teliti. 

Buku ini terdiri dari 8 Bab yang menceritakan hampir keseluruhan kehidupan nelayan yang ia lihat di lapangan dan bagaimana pasang - surutnya kehidupan mereka. Ia juga menjelaskan bukunya itu tidaklah terlepas dari hal yang bersifat subjektif. Bab pertama dan ke-dua serta ke-tiga menjelaskan kehidupan yang terpaksa ‘menderita’ karena urusan perut dan latar belakang nelayan tersebut , sejarah ‘kesusahan’ mereka dari jaman sebelum dijajah jepang sampai orde baru dan juga mencoba mengkritisi teori yang mengatakan bahwa kehidupan nelayan adalah seimbang  atau equilibrium. Padahal kenyataannya kehidupan tersebut menurun ke bawah, dari miskin semakin miskin. Bab ke-empat mencoba menjelaskan apa yang dilakukan oleh nelayan dalam berjuang dan berusaha  untuk nerdaptasi dengan alam dalam melawan ‘kemiskinan’ mereka. Apapun mereka lakukan.  Memfaatkan waktu untuk memperbaiki jaring yang rusak, mengunakan pengetahuan lokal tentang musim, bintang, mau tidak mau menerima perbedaan antara kaya dan miskin dan lain sebagainya. Bab selanjutnya menjelaskan bagaimana keramahan mereka terhadap sesama. Berbagi apa yang bisa di bagi walaupun dalam keadaan susah. Hingga pada waktu Mereka tergusur pemodal yang lebih besar dan menjadi buruh pemodal.

Sistem ekonomi tampa akuntan istilah si penulis, hitung rugi-laba, ‘makai dukun’ sampai koperasi yang  ‘mengikat’.  Kemudian mendapat tawaran kredit bank yang ‘mencekik’ hingga mereka tak bisa melunasi kredit bank tepat waktu, kredit macet dan penyebabnya di jelaskan pada bab ke-tujuh dan hasilnya,  ‘kemiskin yang menjadi - jadi’ akibat prilaku ‘foya-foya.’ yang tidak seimbang dan tidak masuk akal jika di bandingkan dengan pemasukan serta keadaan, menjadi kesimpulan bab ke-delapan. Begitulah isi buku ini, pas  jika judulnya KETIKA NELAYAN HARUS SANDAR DAYUNG.

Adapun nelayan yang ia bahas adalah nelayan Kirdowono.  Kirdowono adalah sebuah kawasan yang mayoritaas ber-mata pencaharian sebagai nelayan. Desa kirdowono adalah desa di kecamatan Karangwani, Kabupaten Merangigel, Jawa Tengah. Masyarakat Kirdowono masih banyak yang memiliki kebiasaan ke “dukun” guna melampiaskan masuk ikhtiar agar rejeki mudah di dapat, walaupun jika kita mengamati lebih jauh dalam buku ini, dukunnyapun tidak lebih kaya terkadang dibanding nelayan yang meminta jimat pada dia. Prilaku ini disebutkan Malinowsky sebagai prilaku mistik manusia yang muncul sebagai  reaksi terhadap ketidaktentuan, kelemahan dan keraguan akan tindakan-tindakan teknis yang nyata.

Pada tahun 1960-an desa Kirdowono merupakan desa nelayan terbesar di wilayah kabupaten Merakngigel,  hampir semua warganya menangkap ikan dengan menggunakan perahu mayang dan compreng yang di gerakkan dengan layar dan dayung. Perahu mayang digunakan untuk menangkap ikan dengan pukat meyang. Perahu ini berukuran besar yang dapat memuat 30 orang nelayan untuk menarik paying yang panjangnya dapat mencapai 600 meter. Perahu compreng yang berukuran kecil di gunakan untuk memuat paling banyak 8 nelayan, alat tangkap yang di gunakan adalah Gemplo yaitu versi kecil payang. 

Awal tahun 1970-an para nelayan Merangigel yakni kawasan sekiar  6 KM dari timur Kirdowono. Menggunakan perahu-perahu pursin besar bermesin diesel. Perahu ini menggunakan alat tangkap pursin yaknii pukat cincin, pada masa ni perahu pursin  Merakngigel di gerakkan oleh mesin berkekuatan 100 tenaga kuda dan di kawal oleh 30 nelayan. Karena pekerjaan nelayan Merangigel sangatlah lebih mudah dan tidak mengeluarkan banyak tenaga, hal ini membuat para nelayan (pandega) banyak yang berbondong berganti pekerjaan menjadi nelayan-nya Marangigel. Terdesak oleh tuntutan perut, pemilik atau juragan perahu mayang pun akhirnya mengikuti jejak jejak pandeganya untuk menhadi pandega pursin di daerah merakngigel ini. Nelayan yang masih mampu bertahan di Kardowono pada tahun ini merupakan beberapa juragan perahu compreng, yang memanfaatkan tenaga kerja dari rumah masing-masing (anak dan menantu laki-laki).

Pada Tahuan 1975an, perahu pursin Merangigel beroprasi hingga ke perairan Kaarimun jawa. Pada tahun 1980-an, lokasi penangkapan bergeser kian ketimur, ke perairan pulau kengean dan bawean. Pada tahun 1987 waktu kerja para nelayan pursin merakngigel sudah mencapai empat samapai lima minggu tiap kali pelayaran dan pelayaran sudah mencapai Masalembu dan terus keutara memasuki selat Makasar di sekitar pulau Lumu-Lumu, pada 1993, waktu kerja mereka sudah mencapai dua bulan dengan biaya perbekalan tidak kurang dari Rp. 4.000.000,- untuk setiap kali pelayaran. (Kuntjoro, 1986; Suherman & Sadhotomo, 1985; Sujastani 1981).

Tahun 1977, perahu-perahu trawl (Pukat Harimau), yang berpangkal di merakngigel memasuki perairan Kirdowono untuk memburu udang. Pukat harimau juga merusak jaring klitik nelayan kridowono. Akhirnya pemerintah turun tangan lewat keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980, perahu pukat harimau dilarang beroprasi di semua perairan Indonesia, kecuali Laut Arafura.

Usaha nelayan di kirdowono bangkit lagi dengan adanya program Kredit Investasi Kecil (KIK) dari pemerintah yang dilaksanakan pada tahun 1980/1981. Pemerintah lewat Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyediakan kredit perahu senialai Rp.5.000.000,00 setiap paket. Pelaksanaan program tersebut diwarnai oleh penyelewengan. Paket kredit sampai ketangan para nelayan dalam bentuk sebuah perahu yang belum di cat, sebuah mesin tempel diesel dan satu set jaring insang (gill net) dengan panjang 500 meter dan lebar 10 meter. Semua ini di taksir para nelayan bernilai tidak lebih dari Rp.3.500.000,- dari yang semestinya Rp.5.000.000,-.

Penangkapan ikan dan berburu meramu pada dasarnya adalah kegiatan yang sama yaitu kegiatan yang bertumpu pada ekstratif sumberdaya alam. Nelayan tidak memiliki kemampuan untuk mengatur jumlah dan mutu hasil kerja, Mereka bekerja dengan ketidak tentuan yang tinggi (Acheson,1981).
Laut yang luas dan ombak yang tenang tidak selalu berarti ikannya melipah. Tidak setiap bagian laut mengandung ikan, dan tidak setiap waktu ikan itu muncul. Idealnya nelayan harus melaut sepanjang tahun, namun sayangnya mereka tidak memiliki alat yang bisa digunakan terus menerus dan lengkap. Alhasilnya tanpa alat tersebut mereka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal, untuk mencukupi hal tersebut nelayan harus mengkredit pada program kredit perahu.;Sayangnya, kredit itu tidak seindah yang mereka bayangkan. 

Seperti yang saya jelaskan di atas sebelumnya. Nelayan kirdowono merupakan contoh korban modernisasi tekhnologi, sejarah menunjukkan bahwa sebenarnya nelayan dapat bangkit dari berbagai masalah yang menghimpit dengan kekuatan sendiri. Mereka memiliki kemampuan menggalang modal yang prima. Namun pemerintah memiliki persepsi lain. Kemiskinan nelayan kecil diatributkan kepada tekhnologi. Disini muncul suatu gagasan yang tidak tepat, bahwa tekhnologi yang rendah itulah yang membuat nelayan kecil kalah bersaing dengan nelayan besar.

Satu sisi tekhnologi maju memang mampu meningkatkan efesiensi dan efectifitas kerja para nelayan, contohnya dengan perahu bermesin, para nelayan dapat dengan leluasa cepat bergerak kesegala penjuru tempat penurunan jaring disegala cuaca. Tak bisa dipungkiri, kehadiran mesin membebaskan mereka dari hambatan musim angin yang semulanya memaksa mereka berbulan – bulan tinggal didarat tanpa penghasilan. Selain itu bahan sintesis nilon dan plastic tidak boleh rusak dioprasikan dengan sedikit tenaga menjadikan tangkapan sedikit lebih baik.  

Disisi lain, timbul masalah tersendiri, yaitu tekhnologi kerja yang maju itu memunculkan tekanan yang lebih besar kepada sumber daya. Pertama, karena daya kerjanya yang memang baik, memungkinkan para nelayan untuk melakukan penangkapan yang lebih intensif. Kedua, karena tekhnologi maju tersebut diperoleh dengan biaya yang sangat mahal , kredit bank yang berbunga, maka diperlukan hasil tangkapan yang banyak untuk menutupnya. Mau tidak mau para nelayan harus menguras sumberdaya lebih banyak. Dua factor itu membawa para nelayan pada titik yang pasti, yaitu penipisan sumberdaya yang memang yang sudah sangat terbatas. Tak terhindarkan lagi, datangnya tekhnologi maju ini justru cenderung mengarah pada kemiskinan para nelayan, bukan memajukan taraf kehidupan seperti yang semula direncanakan.

Apa yang terjadi di Kirdowono adalah ironi. Tekhnologi maju ternyata tidak mengantar para nelayan untuk memperluas wilayah kerja. Tekhnologi maju justru memunculkan persaingan yang sangat ketat dikalangan nelayan kirdowono sendiri. Untuk memperebutkan sumber daya yang semakin terbatas. Dalam persaingan ini, paling sedikit ada dua aternatif  bagi para nelayan. Pertama, dengan mempertinggi keefektifan alat kerja sehingga mampu menangkap lebih banyak sumber daya. Atau, kedua, dengan menurunkan biaya kerja sehingga berapapun hasil yang diperoleh para nelayan tidak sampai mengalami deficit. Alternative kedua inilah yang agaknya menjadi latar belakang pemakaian lagi perahu layar oleh beberapa nelayan sejak tahun 1991. 

KREDIT DAN KEMISKINAN
Untuk mengatasi masalah – masalah alat tangkapan nelayan harus berkredit kepada bank. Buntut panjang lain yang timbul karena program kredit adalah kredit perahu tersebut harus dibayar. Jadi bukan barang gratis, masalah yang muncul kemudian uang untuk membayar kredit tidak ada. 

Hasilnya, setelah 13 tahun semenjak program kredit perahu diturunkan, nelayan kindorwono agaknya bukanlah meningkatkan kesejahteraannya seperti semula diharapkan. Mungkin memang ada sedikit peningkatan kesejahteraan, yaitu dari nelayan yang dulu sudah bangkrut menjadi nelayan yang kembali memiliki perahu. Namun harga yang harus dibayar untuk peningkatan tadi sedemikian mahalnya. Dengan mempertimbangkan kapasitisas para nelayan dalam mengangsur kredit, maka dapat dibayangkan kira - kira berapa besarnya hutang kepada bank yang mereka tanggung saat ini. Ratusan juta rupiah!! Catatan dikoprasi menunjukkan angka itu sekitar Rp 500.000.000,00!

Benar – benar tidak masuk akal. Sebuah program yang semula diniatkan untuk mengangkat kesejahteraan para nelayan, ternyata justru membenamkan mereka kedalam kubangan hutang yang tidak tertanggungkan. Benar – benar drama kehidupan yang sukar dinalar, bahwa sekumpulan nelayan yang untuk hidup sehari- hari saja sudah kembang kempis, ternyata menanggung hutang setengah miliyar rupiah, bagaimana semua ini bisa terjadi ? 

Terbenamnya nelayan Kirdowono kedalam kubangan hutang bank agaknya terkait dengan bayak hal, seperti kondisi internal para nelayan dan kondisi eksternal system sosial dimana komunitas nelayan merupakan salah satu bagiannya, serta aspek organisasi dan tekhnologi kerja sumber daya alam dan kebijakan pemerintah.
Kemacetan kredit dikalangan para nelayan kirdowono berpangkal pada rendahnya hasil kerja mereka disbanding dengan kewajiban kredit yang mereka tanggung. Memang tidak tertutup ada sebab lain kemacetan kredit ini, misalnya mentalitas tukang ngemplang. Para nelayan dapat dikatakan mengidap mentalitas tersebut bila mereka memiliki cukup uang namun selalu menghindar membayar hutang. Masalahnya sekarang, dikalangan nelayan Kirdowono uang yag cukup tidak pernah ada. Dari hari ke hari mereka selalu dalam keadaan kekurangan uang. Bahkan sekedar untuk menutup biaya hidup yang paling dasar sekalipun yaitu pangan, papan, dan sandang mereka selalu kekurangan. 

Jika dirunut lebih jauh rendahnya hasil nelayan kirdowono ini paling sedikit dapat dikaitkan kepada empat sebab. Pertama, pemberian jenis alat tangkap yang tidak tepat dalam paket kredit serta terjadinya manipulasi pada pelaksanaan program. Kedua, kondisi sumberdaya yang buruk diperairan kirdowono akibat beroprasinya armada pukat hariamau dan pukat cincin merakngigel. Ketiga, stok sumberdaya diperairan kirdowono sangat terbatas dibandingkan dengan tingkat kebutuhan para nelayan. Keempat, jadwal pembayaran kredit yang tidak realistis.

Macetnya kredit perahu dikalangan nelayan kirdowono menunjukkan bahwa program kredit tersebut dirancang berdasarkan asumsi bahwa sumberdaya diperairan lokal dalam stok atau jumlah yang melimpah, dan bahwa kondisi tekhnologi ynga buruk itilah pangkal kemiskinan masyarakat nelayan. Implikasi praktis pandangan ini mudah ditebak. Yaitu untuk memberantas nelayan dari kemiskinan, maka majukanlah tekhnologi kerjanya, sehingga mereka dapat mengeksploitasi sumberdaya alam sebnayk – banyaknya masalahnya, tekhnologi maju mahal harganya, sehingga tak terjangkau oleh nelayan. Penyelesaiannya? Mudah! Buka kran kredit untuk para nelayan pemabayaran kreditpun dibayangkan bukan masalah. Stok sumberdaya yang melimpah akan member para nelayan hasil tangkapan yang baik dan pengahsilan yang tinggi. Sedemikian tigginya penghasilan itu, sehingga para nelayan dapat meningkaan kesejahteraan dirinya, sembari melunasi kewajiban kredit mereka.

Ketika asumsi tentang melimpahnya sumberdaya itu keliru, maka mimpi indah tentang nelayan yang sejahtera segera berubah menjadi kenyataan buruk yang rasanya tidak seorangpun siap menanggungnya. Kredit sudah terlanjur diambil tekhnologi maju sudah ada ditangan, bunga kredit tiap tahun mesti dibayar, namun tidak ada banyak ikan yang ditangkap akibatnya bisa diduga, bukannya terangkat kesejahteraan, nelayan justru terperosok kedalam kubangan hutang yang semakin hari semakin dalam. Sementara itu, bank terikat oleh aturan kerja meraka, hnaya tahu menagih dan menagih. Sebagai institusi bisnis, tanggung jawab utama bank adalah menjaga agar usahanya tidak bangkrut dan agar dana yang mereka pinjamkan keluar dapat ditarik kembali lengkap dengan bunganya. 

Bagi bank, ya tidak ada prosedur lain kecuali menagih sampai lunas. Secara pribadi saya tidak tega. Tetapi aturan kerja bank memang mengharuskan demikian , “ kata seorang staf penyalur kredit “.
Masalah yang juga mendasar bahwa tekhnologi maju yang dibeli dengan kredit itu member beban baru bagi sumber daya. Sumber daya yang semula dieksploitasi hanya untuk member penghasilan para nelayan, sekarang harus memberi penghasilan kepada pemilik modal yang uangnya dipinjamkan untuk membeli perahu dan jaring. Mode kerja seperti ini tidak sehat, kapitalisme selalu menuntut korban. Pemilik modal, dalam hal ini perbankan, akan menuntut nelayan untuk berkerja lebih keras agar modal usaha yang mereka pinjamkan dan bunganya dapat dikembalikan tepat waaktu. Kalau tidak mereka terpaksa membayar bunga dari tahun ke tahun. Layaknya sapi yang diperah setiap pagi dan sore mesti mengeluarkan susu untuk tuannya. Pada gilirannya, para nelayan melimpahkan tekanan ekonomi dari bank kepada sumber daya dengan cara memerahnya lebih keras lagi. Bagaimanapun juga, dengan cara kerja seperti ini sumberdaya pasti akan lebih cepet terkuras.

Ketika sumberdaya sudah terkuras, penghasilan nelayan pasti jatuh. Jika penghasilan jatuh, kredit tidak akan terlunasi. Scenario seperti ini akan lebih  mudah berlangsung bila sejak awal introducsi teknologi maju, kondisi sumberdaya memang sudah ada dalam kondisi buruk. Memang tidak tertutup peluang bahwa nasib nelayan dapat diangkat lewat introduksi teknologi maju melalui kredit. Hal ini bisa terjadi bila stok atau jumlah sumber daya alam benar – benar cukup melimpah dibandingkan jumlah nelayan yang akan mengeksploitasinya. Sebaliknya, bila stok sumberdaya ini diasumsikan terlalu tinggi, nyaris dapat dipastikan kredit yang semula diniatkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan justru akan menyeret mereka kedalam kubangan hutang yang tak terbayangkan dalamnya, seperti yang menimpa nelayan kirdowono.  

Pada dasarnya hidup nelayan kirddowono hidup dalam persaingan ketat satu sama lain, untuk mendapat sesuap nasi. Agar dapat lolos dari persaingan, satu – satunya cara adalah dengan meningkatkan teknologi kerja, namun sayangnya hal tersebut membuat nelayan bersikap sangat individualistis. Karena daya saing tersebut. Tidak terfikirkan lagi oleh para nelayan akibat jangka panjang bagi kehidupan bersama dari teknologi yang mereka lakukan. Tidak juga terfikir oleh para nelayan alternative yang lebih baik ketimbang terus menerus meningkatkan daya tangkap.
Sipenulis menyatakan salah satu tesisnya. Pengalaman nelayan kirdowono sepertinya mengajarkan bahwa alangkah baiknya urusan – urusan dikalangan nelayan diselesaikan oleh para nelayan tersebut. Tidak perlu disuruh atau diprogramkan dan, para neleyan pasti akan berusaha untuk meningkatkan hasil tangkapan, sebab memang dari hasil tangkapan itulah mereka hidup.

Tanpa interfensi pemerintah dan para produsen mesin, teknologi kerja para nelayan memang tidak semaju ini. Akan tetapi hal itu bukanlah factor utama, dengan teknologi yang sederhana sekalipun sebenarnya nelayan bisa menangkap ikan. Sedikit demi sedikit pastinya mereka akn meningkatkan teknologi kerjanya, tanpa harus memerosokkan diri dalam kubangan hutang.

Selain hal yang telah dipaparkan diatas ada hal lain yang lain yang cukup miris terjadi pada nelayan kirdowono. Biasanya seminggu setelah lebaran mereka akan mengadakan acara dangdut orkhestra yang dilakukan dari pagi sampai menjeleng magrib yang dihadiri oleh anak remaja serta para nelayan kirdowono. Dan honor orkhestra tersebut sebesar Rp. 1.300.000,00. Untuk membayar honor tersebut uang dikumpulkan dari parra pemuda desa dengan jumlah Rp. 30.000,00 per pemuda. Dalam minggu itu mereka bisa menghabiskan uang sebesar Rp 6.000.000,00. Kemudian ritual setelah orchestra tersebut adalah mereka pasti akan meneruskan pesta dengan mencari warung – warung minuman. 

Entah apa yang mereka fikirkan, menghamburkan uang juataan rupiah hanya untuk berhura – hura dalam seminggu. Padahal, kondisi perumahan mereka tidak menunjukkan perbaikan ekonomi, bahkan makin hari makin melarat. Meski musim badai tahun ini telah lewat, hasil tangkapan tidak memberikan hasil yang banyak. Tertekan akibat berkurangnya penghasilan, sebagian nelayan kirdowono mulai gelap mata. Mereka mulai mengoprasikan otok yang mampu menagkap semua sasaran yang ada dihadapannya. Namun yang sangat disayangkan otok ternyata versi mini dari pukat harimau yang dilarang di Indonesia. Sadar atau tidak sadar para nelayan tersebut sedang menuju kebangkrutan dan mulai merusak alam. 

Dilihat dari logika ekonomi modern tindakan para nelayan itu tampaknya tidak masuk akal. Maksudnya, mereka terus melakukan investasi yang mahal untuk kerja yang tidak lagi memberikan keuntungan dan berfoya – foya walaupun penghasilan tidak sepadan dari apa yang mereka dapatkan. 

Banyak yang ikut serta dalam kehidupan mereka. Perahu, jaring ,megis, musim, penanggalan, sungai-sungai, ombak dan arus, bintang, ikan, udang, rebon, cumi-cumi, aturan-aturan lokal, juragan, tempat pelelangan ikan, koperasi, pemilik warung, tangkapan, benang nilon, ketidakmampuan, modernisasi usaha penangkapan ikan, bank, hutang-kredit, pemerintah, pemodal, uang, kemelaratan, resiko,  kebahagiaan, ketidakbedayaan dan nasib. Mungkin memang sangat delamatis saat saya menulis ini. Tapi memang inilah kenyataannya yang tertulis di buku ini, semua element yang berkerja saling terkait dalam ‘merendahkan-meningkatkan’ kehidupan mereka. Banyak kejadian yang beraroma produktifitas menjerat mereka kedalam istilah hutang . Perahu – perahu terus bergantian tapi tak kunjung membuat mereka hidup senang. Itulah kehidupan mereka.
Umumnya nelayan Kirdowono punya impian yang kurang lebih sama. Bila punya cukup uang mereka ingin membeli sawah, atau tanah pertanian kering atau tambak yang mampu memberikan penghasilan teratur dan memadai. Kalau saja mereka punya sember penghasilan lain, mereka ingin keluar dari pekerjaan menangkap ikan atau paling tidak menjadikannya sebagai pekerjaan skunder tidak menjadikan mereka buruh nelayan selamanya.

KALAU COPAS ATAU NGUTIP, JANGAN LUPA CANTUMKAN SUMBER YA :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar