Di review
oleh : Al Kindi Harley
Apa yang terbayang dipikiran kita jika mendengar kata ‘nelayan’ ?
setidaknya pasti terlintas seseorang yang melaut, ikan, perahu , wilayah
pesisir, kail, pancingan, dan dan lain sebagainya. Nelayan bisa dikatan orang - yang melaut
untuk mencari ikan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari – hari dan menjualnya
ke pasaran untuk di kosumsi orang lain. Tulisan yang sedang kita baca ini
adalah sebuah review buku yang akan bercerita tentang kehidupan salah satu
kelompok nelayan Indonesia . penulis
buku ini adalah orang yang cukup berkompeten dalam bidang ini. Ia sudah lama
berbaur dengan masyarakat nelayan yang ia teliti.
Buku ini terdiri dari 8
Bab yang menceritakan hampir keseluruhan kehidupan nelayan yang ia lihat di
lapangan dan bagaimana pasang - surutnya kehidupan mereka. Ia juga menjelaskan
bukunya itu tidaklah terlepas dari hal yang bersifat subjektif. Bab pertama dan
ke-dua serta ke-tiga menjelaskan kehidupan yang terpaksa ‘menderita’ karena urusan
perut dan latar belakang nelayan tersebut , sejarah ‘kesusahan’ mereka dari jaman
sebelum dijajah jepang sampai orde baru dan juga mencoba mengkritisi teori yang
mengatakan bahwa kehidupan nelayan adalah seimbang atau equilibrium. Padahal kenyataannya
kehidupan tersebut menurun ke bawah, dari miskin semakin miskin. Bab ke-empat
mencoba menjelaskan apa yang dilakukan oleh nelayan dalam berjuang dan berusaha untuk nerdaptasi dengan alam dalam melawan
‘kemiskinan’ mereka. Apapun mereka lakukan.
Memfaatkan waktu untuk memperbaiki jaring yang rusak, mengunakan
pengetahuan lokal tentang musim, bintang, mau tidak mau menerima perbedaan
antara kaya dan miskin dan lain sebagainya. Bab selanjutnya menjelaskan
bagaimana keramahan mereka terhadap sesama. Berbagi apa yang bisa di bagi
walaupun dalam keadaan susah. Hingga pada waktu Mereka tergusur pemodal yang
lebih besar dan menjadi buruh pemodal.
Sistem ekonomi tampa
akuntan istilah si penulis, hitung rugi-laba, ‘makai dukun’ sampai koperasi
yang ‘mengikat’. Kemudian mendapat tawaran kredit bank yang
‘mencekik’ hingga mereka tak bisa melunasi kredit bank tepat waktu, kredit
macet dan penyebabnya di jelaskan pada bab ke-tujuh dan hasilnya, ‘kemiskin yang menjadi - jadi’ akibat prilaku
‘foya-foya.’ yang tidak seimbang dan tidak masuk akal jika di bandingkan dengan
pemasukan serta keadaan, menjadi kesimpulan bab ke-delapan. Begitulah isi buku
ini, pas jika judulnya KETIKA NELAYAN
HARUS SANDAR DAYUNG.
Adapun
nelayan yang ia bahas adalah nelayan Kirdowono. Kirdowono adalah sebuah
kawasan yang mayoritaas ber-mata pencaharian sebagai nelayan. Desa kirdowono
adalah desa di kecamatan Karangwani, Kabupaten Merangigel, Jawa Tengah.
Masyarakat Kirdowono masih banyak yang memiliki kebiasaan ke “dukun” guna
melampiaskan masuk ikhtiar agar rejeki mudah di dapat, walaupun jika kita
mengamati lebih jauh dalam buku ini, dukunnyapun tidak lebih kaya terkadang
dibanding nelayan yang meminta jimat pada dia. Prilaku ini disebutkan Malinowsky
sebagai prilaku mistik manusia yang muncul sebagai reaksi terhadap
ketidaktentuan, kelemahan dan keraguan akan tindakan-tindakan teknis yang
nyata.
Pada
tahun 1960-an desa Kirdowono merupakan desa nelayan terbesar di wilayah kabupaten
Merakngigel, hampir semua warganya
menangkap ikan dengan menggunakan perahu mayang dan compreng yang
di gerakkan dengan layar dan dayung. Perahu mayang digunakan untuk menangkap
ikan dengan pukat meyang. Perahu ini berukuran besar yang dapat memuat
30 orang nelayan untuk menarik paying yang panjangnya dapat mencapai 600 meter.
Perahu compreng yang berukuran kecil di gunakan untuk memuat paling
banyak 8 nelayan, alat tangkap yang di gunakan adalah Gemplo yaitu versi
kecil payang.
Awal
tahun 1970-an para nelayan Merangigel yakni kawasan sekiar 6 KM dari
timur Kirdowono. Menggunakan perahu-perahu pursin besar bermesin diesel.
Perahu ini menggunakan alat tangkap pursin yaknii pukat cincin, pada
masa ni perahu pursin Merakngigel di gerakkan oleh mesin
berkekuatan 100 tenaga kuda dan di kawal oleh 30 nelayan. Karena pekerjaan
nelayan Merangigel sangatlah lebih mudah dan tidak mengeluarkan banyak tenaga,
hal ini membuat para nelayan (pandega) banyak yang berbondong berganti
pekerjaan menjadi nelayan-nya Marangigel. Terdesak oleh tuntutan perut, pemilik
atau juragan perahu mayang pun akhirnya mengikuti jejak jejak pandeganya untuk
menhadi pandega pursin di daerah merakngigel ini. Nelayan yang masih mampu
bertahan di Kardowono pada tahun ini merupakan beberapa juragan perahu
compreng, yang memanfaatkan tenaga kerja dari rumah masing-masing (anak dan
menantu laki-laki).
Pada
Tahuan 1975an, perahu pursin Merangigel beroprasi hingga ke perairan Kaarimun
jawa. Pada tahun 1980-an, lokasi penangkapan bergeser kian ketimur, ke perairan
pulau kengean dan bawean. Pada tahun 1987 waktu kerja para nelayan pursin
merakngigel sudah mencapai empat samapai lima minggu tiap kali pelayaran dan
pelayaran sudah mencapai Masalembu dan terus keutara memasuki selat Makasar di
sekitar pulau Lumu-Lumu, pada 1993, waktu kerja mereka sudah mencapai dua bulan
dengan biaya perbekalan tidak kurang dari Rp. 4.000.000,- untuk setiap kali
pelayaran. (Kuntjoro, 1986; Suherman & Sadhotomo, 1985; Sujastani 1981).
Tahun
1977, perahu-perahu trawl (Pukat Harimau), yang berpangkal di
merakngigel memasuki perairan Kirdowono untuk memburu udang. Pukat harimau juga
merusak jaring klitik nelayan kridowono. Akhirnya pemerintah turun tangan lewat
keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980, perahu pukat harimau dilarang beroprasi
di semua perairan Indonesia, kecuali Laut Arafura.
Usaha
nelayan di kirdowono bangkit lagi dengan adanya program Kredit Investasi Kecil
(KIK) dari pemerintah yang dilaksanakan pada tahun 1980/1981. Pemerintah lewat
Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyediakan kredit perahu senialai Rp.5.000.000,00
setiap paket. Pelaksanaan program tersebut diwarnai oleh penyelewengan. Paket
kredit sampai ketangan para nelayan dalam bentuk sebuah perahu yang belum di
cat, sebuah mesin tempel diesel dan satu set jaring insang (gill net) dengan
panjang 500 meter dan lebar 10 meter. Semua ini di taksir para nelayan bernilai
tidak lebih dari Rp.3.500.000,- dari yang semestinya Rp.5.000.000,-.
Penangkapan
ikan dan berburu meramu pada dasarnya adalah kegiatan yang sama yaitu kegiatan
yang bertumpu pada ekstratif sumberdaya alam. Nelayan tidak memiliki kemampuan
untuk mengatur jumlah dan mutu hasil kerja, Mereka bekerja dengan ketidak
tentuan yang tinggi (Acheson,1981).
Laut
yang luas dan ombak yang tenang tidak selalu berarti ikannya melipah. Tidak
setiap bagian laut mengandung ikan, dan tidak setiap waktu ikan itu muncul.
Idealnya nelayan harus melaut sepanjang tahun, namun sayangnya mereka tidak
memiliki alat yang bisa digunakan terus menerus dan lengkap. Alhasilnya tanpa
alat tersebut mereka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal, untuk
mencukupi hal tersebut nelayan harus mengkredit pada program kredit perahu.;Sayangnya,
kredit itu tidak seindah yang mereka bayangkan.
Seperti
yang saya jelaskan di atas sebelumnya. Nelayan kirdowono merupakan contoh
korban modernisasi tekhnologi, sejarah menunjukkan bahwa sebenarnya nelayan
dapat bangkit dari berbagai masalah yang menghimpit dengan kekuatan sendiri.
Mereka memiliki kemampuan menggalang modal yang prima. Namun pemerintah
memiliki persepsi lain. Kemiskinan nelayan kecil diatributkan kepada
tekhnologi. Disini muncul suatu gagasan yang tidak tepat, bahwa tekhnologi yang
rendah itulah yang membuat nelayan kecil kalah bersaing dengan nelayan besar.
Satu
sisi tekhnologi maju memang mampu meningkatkan efesiensi dan efectifitas kerja
para nelayan, contohnya dengan perahu bermesin, para nelayan dapat dengan
leluasa cepat bergerak kesegala penjuru tempat penurunan jaring disegala cuaca.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran mesin membebaskan mereka dari hambatan musim
angin yang semulanya memaksa mereka berbulan – bulan tinggal didarat tanpa
penghasilan. Selain itu bahan sintesis nilon dan plastic tidak boleh rusak
dioprasikan dengan sedikit tenaga menjadikan tangkapan sedikit lebih baik.
Disisi
lain, timbul masalah tersendiri, yaitu tekhnologi kerja yang maju itu
memunculkan tekanan yang lebih besar kepada sumber daya. Pertama, karena daya
kerjanya yang memang baik, memungkinkan para nelayan untuk melakukan
penangkapan yang lebih intensif. Kedua, karena tekhnologi maju tersebut
diperoleh dengan biaya yang sangat mahal , kredit bank yang berbunga, maka
diperlukan hasil tangkapan yang banyak untuk menutupnya. Mau tidak mau para
nelayan harus menguras sumberdaya lebih banyak. Dua factor itu membawa para
nelayan pada titik yang pasti, yaitu penipisan sumberdaya yang memang yang
sudah sangat terbatas. Tak terhindarkan lagi, datangnya tekhnologi maju ini
justru cenderung mengarah pada kemiskinan para nelayan, bukan memajukan taraf
kehidupan seperti yang semula direncanakan.
Apa
yang terjadi di Kirdowono adalah ironi. Tekhnologi maju ternyata tidak
mengantar para nelayan untuk memperluas wilayah kerja. Tekhnologi maju justru
memunculkan persaingan yang sangat ketat dikalangan nelayan kirdowono sendiri.
Untuk memperebutkan sumber daya yang semakin terbatas. Dalam persaingan ini,
paling sedikit ada dua aternatif bagi
para nelayan. Pertama, dengan mempertinggi keefektifan alat kerja sehingga
mampu menangkap lebih banyak sumber daya. Atau, kedua, dengan menurunkan biaya
kerja sehingga berapapun hasil yang diperoleh para nelayan tidak sampai
mengalami deficit. Alternative kedua inilah yang agaknya menjadi latar belakang
pemakaian lagi perahu layar oleh beberapa nelayan sejak tahun 1991.
KREDIT
DAN KEMISKINAN
Untuk
mengatasi masalah – masalah alat tangkapan nelayan harus berkredit kepada bank.
Buntut panjang lain yang timbul karena program kredit adalah kredit perahu
tersebut harus dibayar. Jadi bukan barang gratis, masalah yang muncul kemudian
uang untuk membayar kredit tidak ada.
Hasilnya,
setelah 13 tahun semenjak program kredit perahu diturunkan, nelayan kindorwono
agaknya bukanlah meningkatkan kesejahteraannya seperti semula diharapkan.
Mungkin memang ada sedikit peningkatan kesejahteraan, yaitu dari nelayan yang
dulu sudah bangkrut menjadi nelayan yang kembali memiliki perahu. Namun harga
yang harus dibayar untuk peningkatan tadi sedemikian mahalnya. Dengan
mempertimbangkan kapasitisas para nelayan dalam mengangsur kredit, maka dapat
dibayangkan kira - kira berapa besarnya hutang kepada bank yang mereka tanggung
saat ini. Ratusan juta rupiah!! Catatan dikoprasi menunjukkan angka itu sekitar
Rp 500.000.000,00!
Benar
– benar tidak masuk akal. Sebuah program yang semula diniatkan untuk mengangkat
kesejahteraan para nelayan, ternyata justru membenamkan mereka kedalam kubangan
hutang yang tidak tertanggungkan. Benar – benar drama kehidupan yang sukar
dinalar, bahwa sekumpulan nelayan yang untuk hidup sehari- hari saja sudah
kembang kempis, ternyata menanggung hutang setengah miliyar rupiah, bagaimana
semua ini bisa terjadi ?
Terbenamnya
nelayan Kirdowono kedalam kubangan hutang bank agaknya terkait dengan bayak
hal, seperti kondisi internal para nelayan dan kondisi eksternal system sosial
dimana komunitas nelayan merupakan salah satu bagiannya, serta aspek organisasi
dan tekhnologi kerja sumber daya alam dan kebijakan pemerintah.
Kemacetan
kredit dikalangan para nelayan kirdowono berpangkal pada rendahnya hasil kerja
mereka disbanding dengan kewajiban kredit yang mereka tanggung. Memang tidak
tertutup ada sebab lain kemacetan kredit ini, misalnya mentalitas tukang
ngemplang. Para nelayan dapat dikatakan mengidap mentalitas tersebut bila
mereka memiliki cukup uang namun selalu menghindar membayar hutang. Masalahnya sekarang,
dikalangan nelayan Kirdowono uang yag cukup tidak pernah ada. Dari hari ke hari
mereka selalu dalam keadaan kekurangan uang. Bahkan sekedar untuk menutup biaya
hidup yang paling dasar sekalipun yaitu pangan, papan, dan sandang mereka
selalu kekurangan.
Jika
dirunut lebih jauh rendahnya hasil nelayan kirdowono ini paling sedikit dapat
dikaitkan kepada empat sebab. Pertama, pemberian jenis alat tangkap yang tidak
tepat dalam paket kredit serta terjadinya manipulasi pada pelaksanaan program.
Kedua, kondisi sumberdaya yang buruk diperairan kirdowono akibat beroprasinya
armada pukat hariamau dan pukat cincin merakngigel. Ketiga, stok sumberdaya
diperairan kirdowono sangat terbatas dibandingkan dengan tingkat kebutuhan para
nelayan. Keempat, jadwal pembayaran kredit yang tidak realistis.
Macetnya
kredit perahu dikalangan nelayan kirdowono menunjukkan bahwa program kredit
tersebut dirancang berdasarkan asumsi bahwa sumberdaya diperairan lokal dalam
stok atau jumlah yang melimpah, dan bahwa kondisi tekhnologi ynga buruk itilah
pangkal kemiskinan masyarakat nelayan. Implikasi praktis pandangan ini mudah
ditebak. Yaitu untuk memberantas nelayan dari kemiskinan, maka majukanlah
tekhnologi kerjanya, sehingga mereka dapat mengeksploitasi sumberdaya alam
sebnayk – banyaknya masalahnya, tekhnologi maju mahal harganya, sehingga tak
terjangkau oleh nelayan. Penyelesaiannya? Mudah! Buka kran kredit untuk para
nelayan pemabayaran kreditpun dibayangkan bukan masalah. Stok sumberdaya yang
melimpah akan member para nelayan hasil tangkapan yang baik dan pengahsilan
yang tinggi. Sedemikian tigginya penghasilan itu, sehingga para nelayan dapat
meningkaan kesejahteraan dirinya, sembari melunasi kewajiban kredit mereka.
Ketika
asumsi tentang melimpahnya sumberdaya itu keliru, maka mimpi indah tentang
nelayan yang sejahtera segera berubah menjadi kenyataan buruk yang rasanya
tidak seorangpun siap menanggungnya. Kredit sudah terlanjur diambil tekhnologi
maju sudah ada ditangan, bunga kredit tiap tahun mesti dibayar, namun tidak ada
banyak ikan yang ditangkap akibatnya bisa diduga, bukannya terangkat
kesejahteraan, nelayan justru terperosok kedalam kubangan hutang yang semakin
hari semakin dalam. Sementara itu, bank terikat oleh aturan kerja meraka, hnaya
tahu menagih dan menagih. Sebagai institusi bisnis, tanggung jawab utama bank
adalah menjaga agar usahanya tidak bangkrut dan agar dana yang mereka pinjamkan
keluar dapat ditarik kembali lengkap dengan bunganya.
Bagi
bank, ya tidak ada prosedur lain kecuali menagih sampai lunas. Secara pribadi
saya tidak tega. Tetapi aturan kerja bank memang mengharuskan demikian , “ kata
seorang staf penyalur kredit “.
Masalah
yang juga mendasar bahwa tekhnologi maju yang dibeli dengan kredit itu member
beban baru bagi sumber daya. Sumber daya yang semula dieksploitasi hanya untuk
member penghasilan para nelayan, sekarang harus memberi penghasilan kepada
pemilik modal yang uangnya dipinjamkan untuk membeli perahu dan jaring. Mode
kerja seperti ini tidak sehat, kapitalisme selalu menuntut korban. Pemilik
modal, dalam hal ini perbankan, akan menuntut nelayan untuk berkerja lebih
keras agar modal usaha yang mereka pinjamkan dan bunganya dapat dikembalikan
tepat waaktu. Kalau tidak mereka terpaksa membayar bunga dari tahun ke tahun.
Layaknya sapi yang diperah setiap pagi dan sore mesti mengeluarkan susu untuk
tuannya. Pada gilirannya, para nelayan melimpahkan tekanan ekonomi dari bank
kepada sumber daya dengan cara memerahnya lebih keras lagi. Bagaimanapun juga,
dengan cara kerja seperti ini sumberdaya pasti akan lebih cepet terkuras.
Ketika
sumberdaya sudah terkuras, penghasilan nelayan pasti jatuh. Jika penghasilan
jatuh, kredit tidak akan terlunasi. Scenario seperti ini akan lebih mudah berlangsung bila sejak awal introducsi
teknologi maju, kondisi sumberdaya memang sudah ada dalam kondisi buruk. Memang
tidak tertutup peluang bahwa nasib nelayan dapat diangkat lewat introduksi
teknologi maju melalui kredit. Hal ini bisa terjadi bila stok atau jumlah sumber
daya alam benar – benar cukup melimpah dibandingkan jumlah nelayan yang akan
mengeksploitasinya. Sebaliknya, bila stok sumberdaya ini diasumsikan terlalu
tinggi, nyaris dapat dipastikan kredit yang semula diniatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan justru akan menyeret mereka kedalam kubangan hutang yang
tak terbayangkan dalamnya, seperti yang menimpa nelayan kirdowono.
Pada
dasarnya hidup nelayan kirddowono hidup dalam persaingan ketat satu sama lain,
untuk mendapat sesuap nasi. Agar dapat lolos dari persaingan, satu – satunya
cara adalah dengan meningkatkan teknologi kerja, namun sayangnya hal tersebut
membuat nelayan bersikap sangat individualistis. Karena daya saing tersebut.
Tidak terfikirkan lagi oleh para nelayan akibat jangka panjang bagi kehidupan
bersama dari teknologi yang mereka lakukan. Tidak juga terfikir oleh para
nelayan alternative yang lebih baik ketimbang terus menerus meningkatkan daya
tangkap.
Sipenulis
menyatakan salah satu tesisnya. Pengalaman nelayan kirdowono sepertinya mengajarkan
bahwa alangkah baiknya urusan – urusan dikalangan nelayan diselesaikan oleh
para nelayan tersebut. Tidak perlu disuruh atau diprogramkan dan, para neleyan
pasti akan berusaha untuk meningkatkan hasil tangkapan, sebab memang dari hasil
tangkapan itulah mereka hidup.
Tanpa
interfensi pemerintah dan para produsen mesin, teknologi kerja para nelayan
memang tidak semaju ini. Akan tetapi hal itu bukanlah factor utama, dengan
teknologi yang sederhana sekalipun sebenarnya nelayan bisa menangkap ikan.
Sedikit demi sedikit pastinya mereka akn meningkatkan teknologi kerjanya, tanpa
harus memerosokkan diri dalam kubangan hutang.
Selain
hal yang telah dipaparkan diatas ada hal lain yang lain yang cukup miris
terjadi pada nelayan kirdowono. Biasanya seminggu setelah lebaran mereka akan
mengadakan acara dangdut orkhestra yang dilakukan dari pagi sampai menjeleng
magrib yang dihadiri oleh anak remaja serta para nelayan kirdowono. Dan honor
orkhestra tersebut sebesar Rp. 1.300.000,00. Untuk membayar honor tersebut uang
dikumpulkan dari parra pemuda desa dengan jumlah Rp. 30.000,00 per pemuda.
Dalam minggu itu mereka bisa menghabiskan uang sebesar Rp 6.000.000,00.
Kemudian ritual setelah orchestra tersebut adalah mereka pasti akan meneruskan
pesta dengan mencari warung – warung minuman.
Entah
apa yang mereka fikirkan, menghamburkan uang juataan rupiah hanya untuk berhura
– hura dalam seminggu. Padahal, kondisi perumahan mereka tidak menunjukkan
perbaikan ekonomi, bahkan makin hari makin melarat. Meski musim badai tahun ini
telah lewat, hasil tangkapan tidak memberikan hasil yang banyak. Tertekan
akibat berkurangnya penghasilan, sebagian nelayan kirdowono mulai gelap mata.
Mereka mulai mengoprasikan otok yang
mampu menagkap semua sasaran yang ada dihadapannya. Namun yang sangat
disayangkan otok ternyata versi mini dari pukat harimau yang dilarang di Indonesia.
Sadar atau tidak sadar para nelayan tersebut sedang menuju kebangkrutan dan
mulai merusak alam.
Dilihat
dari logika ekonomi modern tindakan para nelayan itu tampaknya tidak masuk
akal. Maksudnya, mereka terus melakukan investasi yang mahal untuk kerja yang
tidak lagi memberikan keuntungan dan berfoya – foya walaupun penghasilan tidak
sepadan dari apa yang mereka dapatkan.
Banyak
yang ikut serta dalam kehidupan mereka. Perahu, jaring ,megis, musim,
penanggalan, sungai-sungai, ombak dan arus, bintang, ikan, udang, rebon,
cumi-cumi, aturan-aturan lokal, juragan, tempat pelelangan ikan, koperasi,
pemilik warung, tangkapan, benang nilon, ketidakmampuan, modernisasi usaha
penangkapan ikan, bank, hutang-kredit, pemerintah, pemodal, uang, kemelaratan,
resiko, kebahagiaan, ketidakbedayaan dan
nasib. Mungkin memang sangat delamatis saat saya menulis ini. Tapi memang
inilah kenyataannya yang tertulis di buku ini, semua element yang berkerja
saling terkait dalam ‘merendahkan-meningkatkan’ kehidupan mereka. Banyak
kejadian yang beraroma produktifitas menjerat mereka kedalam istilah hutang .
Perahu – perahu terus bergantian tapi tak kunjung membuat mereka hidup senang. Itulah
kehidupan mereka.
Umumnya
nelayan Kirdowono punya impian yang kurang lebih sama. Bila punya cukup uang
mereka ingin membeli sawah, atau tanah pertanian kering atau tambak yang mampu
memberikan penghasilan teratur dan memadai. Kalau saja mereka punya sember penghasilan
lain, mereka ingin keluar dari pekerjaan menangkap ikan atau paling tidak
menjadikannya sebagai pekerjaan skunder tidak menjadikan mereka buruh nelayan
selamanya.
KALAU COPAS ATAU NGUTIP, JANGAN LUPA CANTUMKAN SUMBER YA :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar